Pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1931, Belanda mengikat kontrak politik dengan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin, bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Kerajaan Sambas harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang termaktub dalam Staatsblad Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan Korte Verklaring atau Akte Van Vereband. Kekuasaan Sultan menjadi terbatas, hanya merupakan daerah otonom yang berbentuk Lanschap. Kepada Sultan sebagai Het Zelfbestuur dikuasakan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain untuk melaksanakan hukum agama Islam dan hukum adat.
Pada tahun 1936, mulai dibentuk pengadilan khusus untuk golongan pribumi di Kerajaan Sambas, yaitu:
1. Pengadilan Negeri yang sebelumnya disebut Landraad untuk golongan pribumi diganti namanya dengan Pengadilan Balai Kanon.
Pengadilan Balai Kanon dikuasai oleh Sultan Sambas sebagai Hakim Tunggal dibantu seorang Panitera dan sebagai penasehatnya seorang pejabat Pemerintah Belanda dan pemuka agama Islam (Maharaja Imam). Penuntut umumnya adalah Mantri Polisi dan hukuman yang dijatuhkan kepada tersangka berpedoman pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan peraturan peraturan lainnya yang ancaman hukumannya diatas enam bulan. Keputusan Pengadilan Balai Kanon harus diperkuat oleh Pengadilan Negeri atau Landraad yang berkedudukan di Singkawang.
2. Pengadilan setempat yang sebelumnya disebut Magistraat untuk golongan pribumi diganti dengan Pengadilan Balai Raja.
Pengadilan Balai Raja sebagai Ketua Pengadilan ditunjuk kepala distrik (Demang) sebagai hakim tunggal. Paniteranya adalah juru tulis kepala distrik. Jaksa Penuntut Umum ditunjuk mantri polisi setempat dan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa berpedoman kepada KUHP dan peraturan-peraturan lainnya yang ancaman hukumannya dibawah enam bulan. Keputusan Pengadilan Balai Raja harus diperkuat oleh kepala pemerintahan setempat (Controleur).
3. Pengadilan Adat diganti namanya dengan Pengadilan Balai Bidai.
Pengadilan Balai Bidai (Pengadilan Adat) dilaksanakan oleh ketua adat, kepala benua, kepala kampung sebagai Ketua Pengadilan Balai Bidai. Anggota dari pemuka kampung seperti Lebai dan Penghulu. Pelaksanaan hukuman perpedoman kepada hukum adat setempat berupa : denda, ganti rugi, dan hukuman yang paling ringan adalah membayar Kasai Langgir atau membayar biaya Tepung Tawar.
Pada masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan dikarenakan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, sehingga aturan hukum yang sebelumnya tetap berlaku namun Jepang menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang dilakukan antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina;
- Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.
Di bidang peradilan, pembaharuan pada zaman penjajahan Jepang yang terjadi adalah:
- Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan;
- Unifikasi kejaksaan;
- Penghapusan pembedaan polisi kota dan lapangan/pedesaan;
- Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
- Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
Sejak Indonesia merdeka, kedudukan hukum diatur didalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat (3) Perubahan ke-4 yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (supremacy of law).
Sebelum Pengadilan Negeri Sambas berdiri, seluruh proses penyelesaian perkara persidangan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Singkawang karena pada saat itu wilayah hukum di Pengadilan Negeri Singkawang masih meliputi wilayah pemerintahan Tk. II Kabupaten Sambas. Hingga pada tahun 1999 wilayah Sambas dimekarkan menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas, namun proses perkara persidangan saat itu masih dilangsungkan di Pengadilan Negeri Singkawang hingga pada tahun 2007, Pengadilan Negeri Sambas resmi berdiri dengan wilayah hukum daerah Pemerintahan Kabupaten Sambas.
Dasar Hukum pembentukan Pengadilan Negeri Sambas diatur dalam “Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Sambas, Pengadilan Negeri Bengkayang, dan Pengadilan Buol yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 2007 dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.
Pengadilan Negeri Sambas adalah Pengadilan Negeri Kelas II (dua) yang dibangun dari dana APBN DIPA Tahun 2006 dan diresmikan pada tanggal 31 Juli 2007 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.S.L. Sejak itu pula secara resmi Pengadilan Negeri Sambas beroperasi hingga saat ini.
Pengadilan Negeri Sambas terletak di Jalan Pembangunan, Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Dengan gedung yang dibangun secara permanen di atas tanah seluas 12.000 m², panjang 150 m² dan lebar 80 m², yang merupakan hibah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas dan saat ini telah bersertifikat.