header pn sambas
1.png
2.png
NewWebsiteBannerMarch2025.png
3.png
Slide Jam PTSP.png
4.png
5.png
6.png
previous arrow
next arrow
Shadow

Zona Integritas

Profesi Hakim: Sebuah Pekerjaan atau Pengabdian

Artikel oleh Mukhamad Athfal Rofi Udin

"Menjadi hakim bukan sekadar mencari nafkah, tetapi mengemban amanat untuk menegakkan keadilan dengan penuh ketulusan, meski dihadapkan pada tekanan dan risiko."

 

Latar Belakang

Hakim merupakan benteng terakhir dalam menegakkan hukum, peran hakim sangat menentukan apakah suatu perkara akan berakhir dengan sebuah keadilan atau tidak. Hakim juga merupakan simbol dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman.[1] Mengingat pentingnya penegakan hukum sehingga profesi hakim merupakan salah satu profesi yang penting, namun pemahaman mengenai profesi ini seringkali berada dipersimpangan antara pekerjaan untuk menghasilkan nafkah atau pengabdian mulia kepada bangsa dan negara.

Pengabdian merujuk pada dedikasi individu untuk melayani kepentingan masyarakat, melebihi kepentingan pribadi, pengabdian dalam pekerjaan berarti menerapkan nilai-nilai seperti tanggung jawab moral, etika profesional, dan komitmen untuk memberikan manfaat yang lebih luas kepada masyarakat. Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009, pada angka 9.1 mengenai Pengabdian dinyatakan bahwa “Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu penting untuk membahas makna dan upaya untuk menjadikan profesi hakim benar-benar sebagai sebuah pengabdian, dengan rumusan masalah “Bagaimana memaknai profesi hakim sebagai sebuah pengabdian?”.

 

Perbedaan antara Pekerjaan dengan Pengabdian

Kode etik merupakan aturan yang wajib dipatuhi, kode etik mempunyai fungsi panduan bagi hakim (fungsi internal) dan fungsi penjelasan bagi masyarakat (fungsi eksternal).[8] Pada kode etik hakim dinyatakan bahwa Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus. Adapun perbedaan yang mendasar apabila hakim hanya menjalankan profesi hakim sebagai pekerjaan maka hakim hanya akan berfikir menyelesaikan pekerjaan sebagai rutinitas biasa dan selanjutnya mendapatkan gaji, Contoh kongkritnya misalkan hakim menangani sebuah perkara pidana yang mengandung banyak tekanan dari pihak lain agar Terdakwa dihukum ringan, karena hakim tidak mau mengambil resiko atau tidak mau merepotkan dirinya maka hakim tersbut akhirnya menjatuhkan hukuman yang ringan padahal berdasarkan fakta hukum seharusnya Terdakwa tersebut dihukum berat, begitu juga misalnya hakim menangani perkara yang aturannya tidak jelas, hakim tersebut mempunyai pilihan untuk melakukan penalaran lebih mendalam agar dapat membuat penemuan hukum yang adil bagi pihak namun ternyata dia memilih memutus sekedarnya saja yang penting perkara tersebut selesai. Sehingga pada intinya jika profesi hakim dimaknai sebagai pekerjaan saja maka memutus sebuah perkara hanya menjadi rutinitas yang bertujuan yang penting perkara tersebut diselesaikan/diputus.

Namun apabila hakim menyadari bahwa profesi hakim ini adalah sebuah pengabdian maka hakim akan berfikir keras setiap kasus yang ditanganinya dan berani melawan tekanan-tekanan yang mengancam independensi bahkan rela berkorban waktu, tenaga, dan pikiran demi memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat dan menciptakan sebuah keadilan yang sebenar-benarnya. Hakim tidak hanya sekedar bertujuan untuk mendapatkan gaji dan tidak sekedar melakukan tugasnya sesuai dengan hukum acara ataupun SOP yang ada, namun hakim benar-benar berpikir keras untuk memberikan keadilan bahkan dalam tekanan, resiko ataupun ancaman yang besar. Selain itu Hakim juga menyadari bahwa putusannya nanti akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Contoh dari pemaknaan ini adalah hakim yang memutus sesuai dengan hati nuraninya meskipun ada tekanan-tekanan besar yang mengancamnya, selain itu hakim yang memutus dengan membuat suatu terobosan baru terhadap kasus yang hukumya tidak jelas dan juga hakim yang rela mengerjakan pekerjaanya melebihi jam kerjanya demi perkara yang ditanganinya cepat dapat diputus.

Dari penjelasan mengenai pekerjaan dan pengabdian tersebut, serta dihubungkan dengan ketentuan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, maka profesi hakim hendaknya dimaknai sebagai sebuah pengabdian, mengingat bahwa hakim bertugas untuk mengakkan keadilan yang seadil-adilnya dan bukan sekedar pekerjaan administratif. Namun disis lain menjadi hakim membutukan kualifikasi dan keterampilan tertentu serta menjadi hakim juga merupakan sarana untuk menafkahi keluarga, sehingga profesi hakim juga merupakan pekerjaan professional, namun tidak tidak hanya sekedar pekerjaan professional menjadi hakim harus dijalankan layaknya sebuah pengabdian tulus.

 

Tinjauan Karakteristik Hakim di Berbagai Negara

Di Negara Jepang, terkenal dengan Hakim-hakimnya yang termasuk di antara hakim-hakim yang paling jujur, independen secara politik, dan kompeten secara profesional di dunia saat ini. Korupsi di peradilan Jepang hampir tidak pernah terjadi, di negara tersebut Hakim tidak menerima suap karena memiliki integritas yang luar biasa, bahkan yang dianggap pelanggaran yang relatif kecil menurut sistem hukum lainnya termasuk Amerika Serikat dapat dihukum berat di Negara tersebut. Para hakim di Jepang termasuk yang paling dipercaya, tingkat kepercayaan publik terhadap pengadilan di Jepang sangat menonjol dibandingkan dengan lembaga sipil dan pemerintah lainnya.[2] Sedangkan di Australia Pengadilan melakukan praktik transparansi dan pengambilan keputusan yang independen, para hakim disana mengambil keputusan yang independen, bahkan pada sebuah penelitian menunjukkan setidaknya hakim mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opninion) satu kali dalam satu tahun atau setidaknya terdapat dissenting opninion satu dari tiga kasus.[3] Sedangkan di Singapura dalam kode etiknya ditekankan bahwa Hakim harus menjalankan tugasnya dengan baik dan berintegritas, dengan cara yang tidak merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.[4]

Dari praktik di beberapa negara tersebut dapat dilihat bahwa Profesi Hakim tidak hanya menonjolkan sebuah pekerjaan saja, namun lebih dari itu profesi hakim di negara-negara tersebut juga mempunyai karakteristik mengarah kepada sebuah pengabdian kepada masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan.

 

Strategi Untuk Menguatkan Dimensi Pengabdian

Ketika menjadi seorang hakim maka terdapat dua pilihan dalam dirinya apakah akan menjalankan profesi ini hanya sebagai pekerjaan saja ataukah sebagai sebuah pengabdian, pemaknaan tersebut berkaitan dengan hati nya masing-masing yang tidak diketahui oleh orang lain. Namun agar seorang hakim benar-benar memaknai profesi ini sebagai sebuah pengabdian maka terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai wujud dukungannya menguatkan dimensi pengabdian pada profesi hakim, meskipun dimensi pengabdian muncul dari diri hakim tersebut namun setidaknya ada faktor eksternal yang mendukung pemaknaan pengabdian muncul dari diri hakim.

Adapun dukungan dari instansi yang dapat dilakukan antara lain: Pertama, memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap diri hakim, dengan pengamanan ini diharapkan hakim lebih tenang dalam bekerja dan berani menolak intervensi-intervensi dari pihak manapun. Kedua peningkatan transparansi dan akuntabilitas terhadap penilian kinerja, promosi dan mutasi. Pola promosi dan mutasi harus dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel, selain itu penilaian terhadap para hakim harus dilakanakan dengan sungguh-sunguh dengan sistem penilaian yang benar-benar dapat menilai kinerja hakim tersebut, misalnya di Prancis penilian hakim dinilai berdasarkan jumlah dan tingkat kesulitan kasus yang ditangani.[7] Dengan pelaksanaan promosi dan mutasi yang transparan dan akuntabel hakim akan bekerja dengan tenang. Ketiga, penegakan disiplin, penegakan disiplin harus dilaksanakan secara tepat, setiap yang terbukti melanggar kode etik atau melanggar hukum harus diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan, hal tersebut dilakukan bertujuan agar tidak ada lagi pembiaran terhadap hakim yang tidak baik yang justru akan mengganggu hakim lain yang berintegritas, Keempat, peningkatan kesejahteraan hakim, kesejahteraan ini akan memberikan dua sisi manfaat, yang pertama dari segi rekrutmen karena dengan kesejahteraan hakim yang memadai akan menarik calon-calon pendaftar yang kompeten untuk mau mendaftar sebagai hakim, manfaat kedua dengan memberikan gaji dan fasilitas yang layak dapat mendorong hakim untuk lebih fokus dan totalitas pada tugas mereka sebagai bentuk pengabdian serta untuk mencegah hakim tergiur dengan suap. Pada tahun 2012 Negara Bagian New York meningkatkan gaji hakim yang sigifikan, ternyata kenaikan tersebut mendorong hakim yang menjabat saat itu bekerja lebih keras, disisi lain mendorong sarjana hukum berkualitas untuk menjadi seorang hakim.[5]

 

Kesimpulan

Profesi hakim merupakan sebuah pekerjaan professional yang harus dijalankan sebagai sebuah pengabdian yang tulus sebagaimana diperintahkan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebagai sebuah Pengabdian berarti menjadi hakim tidak hanya bekerja sekedar bertujuan untuk mendapatkan gaji, lebih dari itu seorang hakim harus melaksanakan pekerjaannya dengan professional dan sungguh-sungguh guna menegakkan hukum dan keadilan meskipun ada tekanan yang mengancamnya, serta hakim harus menyadari bahwa putusannya nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Berkaca dari Negara lain diketahui bahwa karakteristik profesi hakim juga mengarah kepada sebuah pengabdian tidak hanya sekedar pekerjaan.

Kesadaran memaknai profesi hakim sebagai pengabdian merupakan pilihan seorang hakim yang muncul dari hati nuraninya, namun agar seluruh hakim benar-benar menanamkan makna pengabdian maka Mahkamah Agung perlu melakukan strategi-strategi sebagai wujud dukungannya dalam menguatkan dimensi pengabdian, yaitu dengan meningkatkan perlindungan terhadap diri hakim, melakukan penegakan disiplin yang berkeadilan, meningkatkan akuntabilitas promosi dan mutasi, serta meningkatkan kesejahteraan hakim.

 

Referensi

[1] H. Adies Kadir, “The Ideal Concept of the Position Judges as State Officials in the Ius Constituendum in Indonesia,” Britain Int. Humanit. Soc. Sci. J., vol. 4, no. 2, pp. 235–245, 2022, doi: 10.33258/biohs.v4i2.652.

[2] J. O. Haley and W. B. Rutledge, “Law in Japan: An Annual 1 (1995),” vol. 923, no. 1984, pp. 1–30, 2001.

[3] M. Gordon, “the Integrity of Courts: Political Culture and a Culture of Politics,” Melb. Univ. Law Rev., vol. 44, no. 3, pp. 863–888, 2021.

[4] “JUDICIAL CODE OF CONDUCT FOR THE JUDGES AND JUDICIAL COMMISSIONERS OF THE SUPREME COURT OF SINGAPORE,” no. October, 2024.

[5] G. DeAngelo and B. C. McCannon, “Judicial Compensation and Performance,” Supreme Court Econ. Rev., vol. 25, no. 1, pp. 129–147, 2017.

[6] Economic Crime and Cooperation Division, “Action against Corruption in the Republic of Moldova,” Counc. Eur., 2021.

[7] B. Prof and A. Lienhard, “Performance Assessment in Courts - The Swiss Case - Constitutional Appraisal And Thoughts As To Its Organization" International Journal For Court Administration, vol. 6, no. 2, pp. 26–42, 2014.

[8] Elaine Mak “Researching Judicial Athical codes, or:how to eat a mille-feuille?" International Journal for Court Administration, vol.9, No. 2, pp 56-66, 2018.

 

Tautan Asli

https://siganisbadilum.mahkamahagung.go.id/arunika/baca-artikel/profesi-hakim--sebuah-pekerjaan-atau-pengabdian/a-92arnZoJ1Z